Efisiensi, Minimalis dan Fix Gear

“as soon as we renounce fiction and illusion, we lose reality itself; the moment we subtract fictions from reality, reality itself loses its discursive-logical consistency.”
— Slavoj Žižek (Tarrying with the Negative: Kant, Hegel, and the Critique of Ideology)

Aku tidak sedang ingin mengumpat. Hanya ingin menyatakan apa yang sedang kupikirkan mengenai apa yang sementara aku lihat. Slavoj Žižek, beberapa hari yang lalu aku memperolehnya dari sebuah toko buku kecil di sekitaran Tamalanrea yang sedang berjuang keras menghidupi dirinya dari gempuran arus modal kapital raksasa yang mematikan. Aku membelinya bersama sebuah novel tentang Khurasan yang dengannya kutitip harap semoga memiliki guna selain sebagai penghias rak buku atau tumpukan kertas. Slavoj Žižek dalam retasan Thomas Kristiatmo yang menyoal tentang Subjektivitas dalam filsafat dan kebudayaan.

Kenyataannya aku belum paham bagaimana persfektif Žižek mengenai subjek. Aku bahkan belum menyelesaikan bacaanku. Sesekali aku menjumpainya melalui portal 80 dan kutemukan pernyataanya seperti quotation di atas. Žižek cukup menarik dan aku merasa terbantu dalam melihat jejumputan kejadian yang kualami beberapa hari ini. Žižek mungkin sedang berusaha mengembalikan subjek ke posisi sebelumnya yang lebih memiliki independensi maknanya yang belakang mulai terkenan hempasan gelombang trend pemikiran post-post -isme. Walaupun ini hanya berupa pendekatan, semoga aku tidak mengalami salah kaprah yang terlampau parah.

Aku meminjam Žižek beberapa hari ini, mencoba menyelam kesetiap palung yang memungkinkan. Aku sepertinya tidak menemukan apa-apa selain beberapa pernyataan zizek yang tampil dalam laman web 2.0 seperti di atas. Aku membawa Žižek kepermukaan dan menjadikannya kaca mata yang tentu saja tidak semahal jualan mas-mas di pinggir jalan itu.

 

Beberapa anak muda berlalu dihadapanku mengendarai sepeda fixie (fixed gear). Memang kelihatannya bentuk sepeda mereka sangat sederhana, minimalis dan efisien. Sejenak aku berandai, sepertinya gerak zaman itu memang sedang menuju kearah kesederhanaan. Konvergensi teknologi semakin menyederhanakan hal-hal yang dulunya tampak sangat rumit dan kompleks. Mungkinkah zaman sedang menuju Tuhan? Seperti yang senantiasa diperlihatkan ayahku bahwa salah satu jalan terbaik menuju Tuhan adalah kesederhanaan. Aneh saja menurutku, kenapa pula aku membangun kekonyolan ini. Aku memang sepakat dengan ayahku, tetapi apa hubungannya gear sepeda dengan Tuhan. Kebodohanku bisa jadi adalah jawabannya. Aku sanksi ada yang menghubungkan ketuhanan dengan gear sepeda.

Bukankah saat ini arah dunia sedang menuju ke tingkat konsumsi wacana green ecolife? Bukankah agenda gurita raksasa dunia yang terbesar sekarang adalah penyelamatan lingkungan melalui konsumsi tanpa batas terhadap barang dan jasa yang memiliki barcode “ramah lingkungan”. Bukankah ekspoitasi alam berupa eksplorasi tambang yang menelanjangi bumi dan mengulitinya itu sah-sah saja selama terdapat papan pemberitahuan bahwa tambang itu ramah lingkungan. Kendaraan berbahan bakar fosilpun serasa terbebas dari dosa dengan kata-kata ramah lingkungan. Bisa jadi, agama kembali mendapatkan simpatinya seandainya didandani kata-kata ramah lingkungan.

Maka aku tidak ingin menggonggong lebih jauh bagaimana kata-kata hari ini terjangkiti komodifikasi. Demi menjaga perut gendut beberapa tuan besar, maka segala sesuatu itu baik-baik saja asalkan ramah lingkungan. Terserah berapapun yang harus menderita kemiskinan, ataupun mati kelaparan demi terpenuhinya kebuasan nafsu tuan-tuan berdasi itu..

Entahlah, aku tidak terlalu faham apakah semua orang tahu kalau efisiensi itu adalah salah satu penyokong utama kandang gurita raksasa yang menghisap yang dikenal dengan nama kapitalisme. Aku juga tidak ingin berkata bahwa konsumsi tanpa batas adalah etika terbaik dari neoliberalisme. Yang aku tahu bahwa masih banyak “pagandeng” di kota ini yang setia mengayuh sepedanya setiap dini hari untuk menjangkau pasar mereka yang sebentar lagi akan berganti rupa menjadi circle K, supermarket, hypermarket ataupun ruko yang berwarna hijau, ramah lingkunagan. Bisa jadi di tahun-tahun mendatang para pagandeng itu tidak lagi menggunakan sepeda karena yang menjemput sayuran adalah mobil pedagang menengah dan pasar mereka juga telah lenyap. Bisa saja mereka mengambil kreditan motor, tapi adira yang mana yang mau memberikan kredit jika rekening bank saja mereka tidak punya. Mereka pasti survive menentang keganasan zaman, tetapi tidak sedikit juga yang akan punah. Mari menyelamatkan lingkungan, tapi bukan orangnya. Hanya yang bekerja menguntungkan tuan pemilik modal yang akan tersisa pucat terhisap dan terbuai manisnya kopi starbucks.

Tentu saja para pemakai sepeda fixie akan selamanya bertahan selama roda fashion dan trend masih menginginkan mereka ada. Jelas ini adalah gejala global yang selalu hadir menawarkan keramahan gaya hidup. Bersepedalah demi keselamatan bumi kita. Jika aku memiliki kuasa, maka para pagandeng itulah yang menjadi duta lingkungan. Jelas saja bahwa ide tentang sepeda fixie bukan terinspirasi dari para pagandeng karena siang hari aku jarang menemui sepeda fixie beraksi membelah debu jalanan. Biasanya tengah malam diakhir pekan, fixie tba-tiba menjadi pembeda siapa yang peduli lingkungan, keren, gaul dengan yang tidak menggunakan fixie. Kuat dugaanku bahwa sebenarnya fixie itu bukan sepenuhnya pilihan untuk keseharian seperti para pagandeng yang tidak memiliki pilihan lain selain sepedanya. Aku tidak ingin melihat lebih jauh berapa banyak uang yang harus disediakan untuk membangun sepeda fixie, yang pasti bilangan ratusan ribu rupiah tidak masuk hitungan. Aku juga tidak akan mencari tahu, merek apa saja dari korporasi apa saja yang memproduksi segala tetek bengek yang berhubungan dengan sepeda fixie. Berbelanjalah untuk menyelamatkan lingkungan. Seperti yang disebutkan Žižek diatas, kehilagan eksistensi logisnya. Demi sihir yang bernama “resistensi” atau perlawanan, gunakanlah sepeda fixie. Demi tahyul yang bernama resistensi terhadap kemapanan gaya dan kapitalisme, bersepedelah untuk keselamatan lingkungan. Jika kita tidak perduli lingkungan, lalu siapa lagi….karena bagi para tuan berdasi dengan perut gendut mereka yang tidak pernah kenyang lingkungan adalah segala sesuatu yang harus mendatangkan keuntungan bagi mereka. Žižek pernah berkata “Resistance is Surrender”!

 

“We Slovenians are even better misers than you Scottish. You know how Scotland began? One of us Slovenians was spending too much money, so we put him on a boat and he landed in Scotland.”
— Slavoj Žižek

Apa bedanya kita dengan Slovenians? Sama saja, kita menjadi pihak yang paling terakhir membayar segala harga untuk setiap gaya yang kita agungkan dimana beberapa orang mengapalkan uang itu menuju walstreet atau pun Royal Bank of Scotland. Tentu saja bukan lagi atas nama kita, bukankah kita telah memiliki sepeda fixie untuk menunjukkan betapa melawannya kita yang kita tukar dengan uang dalam kapal-kapal itu. Sebentar lagi akan mendanai penelitian mengenai gaya apalagi yang akan kita kenakan sehingga mereka segera membuatnya untuk kita dan kita segera “kembali” membayarnya. Sekali lagi!

Jun 11th

Pasar Sospol

dkDN